“Yang dimaksud dengan dzikir adalah mengucapkan kata-kata yang
diperintahkan untuk diperbanyak pengucapannya. Hal ini seperti Al-baqiyat ash-shalihat (amal sholeh
yang kekal manfaatnya) berupa dzikir;. Suhhanallah
wal-hamdulillah, wa la ilaha illallah wallahu Akbar (Maha suci Allah,
segala puji hanya milik Allah, tidak ada tuhan yang berhak disembah selain
Allah, dan Allah itu Mahabesar). Juga seperti dzikir-dzikir yang lainnya, yaitu
membaca hauqalah (la haula wa
la quwwata illa billah, [tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan
Allah] ), basmalah (bismillah
ar-Rahman ar-Rohim [dengan nama Allah yang Pengasih dan Penyayang] ), istighfar (astaghfirullah, [aku mohon
ampunan dosa dari Allah] ), hasbalah (hasbunallah
wa ni’ma al-wakil, ni’ma al-maula wa ni’ma an-nashir [cukuplah bagi kami Allah,
dan Dia sebaik-baik pelindung, sebaik-baik majikan dan sebaik-baik penolong] ).
Demikian pula do’a (permohonan) untuk kemaslahatan/ kebaikan dunia dan
akhirat.
Secara mutlak ,menurut Ibn Hajar selanjutnya, dzikir juga berarti
mengamalkan secara terus menerus apa yang diwajibkan atau dianjurkan oleh Allah
swt., seperti membaca Alqur’an, membaca hadits, belajar atau menuntut ilmu,
juga melakukan sholat sunnah. Dzikir juga kadang-kadang berupa pelafalan/pengucapan
dengan lidah dan orang yang mengucapkannya berpahala. Dalam dzikir semacam ini
tidak disyaratkan untuk menghadirkan hati –atau mengkhusyu’kannya– hanya tidak
boleh mempunyai tujuan selain yang sesuai dengan yang dibaca. Tetapi, jika
dzikir semacam ini diikuti dengan penghayatan oleh hati, maka itu lebih
sempurna. Dan jika dzikir tersebut disertai pemaknaan dan penghayatan seperti
mengakui keagungan Allah dan membersihkan atau mensucikan-Nya dari segala sifat
kekurangan, maka dzikir tersebut semakin sempurna.
Jika –pemaknaan dan penghayatan mendalam seperti itu– terjadi pada setiap
amal sholeh (perbuatan yang bagus) –baik yang diwajibkan, berupa sholat, jihad
maupun selain keduanya– maka hal itu akan lebih menambah kesempurnaan ibadah
yang dilakukan. Apalagi jika tawajjuh (menghadapkan jiwa raga kepada Allah)
dapat dilurus kan (dibenarkan) disertai keikhlasan yang sungguh-sungguh, maka
kesempurnaannya semakin bertambah. Ibnu Hajar selanjutnya mengatakan bahwa
Al-Fakhr Ar-Razi berkata: ‘Yang dimaksud dzikir dengan lisan itu ialah
(pengucapan) kata-kata yang mengandung tasbih [menyucikan Allah], tahmid
[memuji Allah] dan tamjid (memuliakan dan mengagungkan Allah swt.]. Sedang yang
dimaksud dengan dzikir qalb (dalam hati) ialah berpikir mengenai dalil-dalil
atau bukti-bukti mengenai Dzat Allah, sifat-sifatNya dan yang berkaitan dengan
taklif [kewajiban yang dibebankan oleh syariat] berupa perintah dan larangan.
Dengan begitu, orang yang berdzikir akan mengetahui hukum-hukum serta
rahasia-rahasia Allah yang ada pada (semua) makhluk-Nya.
Sedangkan dzikir dengan anggota tubuh (lainnya)
ialah bahwa anggota tubuh semuanya dipergunakan –secara optimal atau penuh–
dalam taat kepada Allah swt.. Meskipun demikian, Allah swt. menyebut sholat
itu sebagai dzikir. Seperti difirmankan-Nya:..maka pergilah (untuk
menuju) ke dzikrullah (sholat jumat). Diriwayatkan dari sebagian al-‘arifin –ahli tauhid– bahwa dzikir
itu dilakukan lewat tujuh segi; yaitu dzikir mata dengan menangis; dzikir
telinga dengan mendengarkan
(ajaran Allah); dzikir lidah
dengan menyanjung atau memuji Allah swt; dzikir kedua tangan dengan
memberi infak,sedekah, zakat, hadiah dan lain-lainnya; dzikir badan
dengan al-wafa (memenuhi tuntutan dan
janji); dzikir hati dapat dilakukan dengan adanya khauf (rasa takut akan murka
Allah), dan raja’ (penuh pengharapan
terhadap rahmat dan karunia Allah swt) serta dzikir ar-ruh dengan
berserah diri kepada ketentuan Allah serta ridho/rela atas apa yang
ditentukannya”.
Demikianlah menurut Ibnu Hajar Al-‘Asqalani.
Sedangkan dalam buku Fiqih Sunnah oleh Sayid Sabiq
jilid 4 hal. 247 cet. pertama th.1978B ditulis, bahwa Imam Qurtubi
berkata: “Majlis dzikir maksudnya ilmu dan peringatan yakni majlis dimana
disebut firman-firman Allah dan sunnah-sunnah Rasul-Nya. Begitupun berita-berita
(riwayat-riwayat) mengenai orang-orang sholeh dari golongan Salaf,
ucapan-ucapan imam dahulu yang zuhud, yang bebas dari bid’ah dan hal yang
dibuat-buat, bersih dari maksud jelek dan maksud serakah”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar